*Copy paste dari e-megazine-nya anak Palu
http://www.stepmagz.com/2011/11/hijrah-ke-negeri-orang/
|
Di depan kampus @by. D. Wulansari |
Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, Malang, Makassar, bahkan Australia, Belanda dan kota-kota lain di luar negeri, di sanalah anak-anak muda Kota
Palu bertebaran dengan aneka kesibukan yang menarik untuk diliput dalam Stepmagz.
Sudah banyak
pelancong asal Kota Palu yang telah kembali dan berkarir di Kota Palu tercinta. Setelah wisuda mereka mengembangkan ilmu yang mereka miliki sebagai tenaga pengajar, tenaga kesehatan, dan profesi lainnya sebagai pegawai negeri. Ada pula di antaranya lebih termotivasi untuk mencari rupiah sebagai
entrepreneur, jadi pengusaha mulai dari bisnis kreatif kecil-kecilan hingga bisnis mid-hi seperti developer dan konsultan.
Nikmah Utami Dewi adalah salah satu contoh anak muda Palu yang bermukim di luar negeri karena melanjutkan studinya. Ia berkesempatan mendapatkan beasiswa di Wageningen, Belanda. Kartika Sary Daly yang hidup berumah tangga di Australia. Rini Rachmawaty yang mendapatkan beasiswa program doctoral di Virginia, U.S, dan masih banyak Palu Youth lainnya yang
enjoying their activities in abroad.
Umumnya, sebagai ABG yang baru lulus SMA, mereka ingin merasakan suatu nilai pendidikan yang belum tersedia di Kota Palu. Menurut Tami (sapaan akrab Nikmah), keinginan awalnya hanya ingin belajar, belajar, dan belajar, namun lama-kelamaan Tami jatuh cinta dengan budaya terbuka di lingkungannya. Suatu nilai yang mahal menurutnya adalah budaya saling menghargai multikultural, karena teman-temannya berasal dari berbagai pulau di Indonesia, apalagi menghargai budaya dari berbeda negara dan ras seperti yang ia alami di Wageningen.
Biaya Sendiri atau Dibiayai
Pun untuk melancong ke luar negeri, ternyata tidak harus beruang seperti Teddy Bear, maksudnya tidak harus memperkaya diri dulu seperti menabung kalau mau naik haji. Ada alternatif lain, banyak anak muda Kota
Palu yang bersabar mencari peluang di internet untuk menyelam dan berselancar informasi beasiswa. Karena biaya keluar negeri cukup menguras harta, apalagi masuk ke negara-negara yang
parno dengan
image warga Indonesia dikenalkan media internasional dengan teroris, mereka meminta deposit puluhan juta rupiah untuk memastikan agar orang Indonesia tidak berbuat macam-macam di sana. Itu belum termasuk biaya hidup, perpanjangan visa, biaya pendidikan dan juga ‘biaya tak terduga’ seperti yang biasa kita tulis di estimasi biaya di proposal kegiatan sekolah dan kampus.
Internet is always working, Nikmah Utami Dewi misalnya, ia harus
ba’browsing di search engine dan ikut di berbagai milis selama tiga tahun untuk sekadar mencari peluang beasiswa. Harus gigih, sabar, dan pantang menyerah tentunya, dan ini tips yang sangat sederhana untuk dijalankan. Di internet dan milis banyak tersedia informasi beasiswa pendidikan baik dari funding pemerintah dalam negeri, perusahaan dan yayasan asing, pemerintah luar negeri, PBB dan individual. Beasiswanya pun variatif, mulai dari program pertukaran pelajar, program kursus 1 tahun, master maupun doktoral.
Perbedaan budaya keseharian
Jam karet versus jam baja, boleh jadi budaya karet-mengaret-perkaretan sudah jadi rahasia bersama bangsa kita. Entah siapa yang memprakarsai budaya ini di jaman dahulu, yang jelas budaya ‘
on time’ masih menjadi kebutuhan tersier bagi kita. Beruntunglah Palu Youth yang sudah berbudaya disiplin, atau paling tidak pernah merasakan kerasnya Jakarta, pengalaman kejar-mengejar-dikejar waktu adalah hal yang paling berharga. Banyak anak muda Kota
Palu yang berada di negara maju, bisa mampus-semampus-mampusnya jika tidak tepat waktu. Menurut Nikmah Utami Dewi atau akrab dengan Tami, di Belanda waktu 2 menit sangat berarti, apalagi 5 menit, orang lokal di sana mengatakan “Bus tidak akan menunggumu dengan 5 menit !!” Tertinggal beberapa menit saja akan mengakibatkan hilangnya kesempatan sehari, seminggu, sebulan, bahkan setahun.
Nah, hal lainnya yang menarik adalah semua hal harus detail dan masuk logika, bagi Tami, di negara maju tidak ada yang mutlak benar atau salah, selama bisa menjelaskan dengan lugas, berdasar dan masuk di logika, kurang lebih apa yang dipaparkan bisa diterima oleh mereka. Karenanya tidak ada rasa segan atau takut, yang ada rasa hormat, buktinya dosen bergelar professor enggan dipanggil “Pak Profesor”, cukup panggil namanya saja. Dan hebatnya, ketika berdiskusi dengan siapapun, dengan apapun tingkat pendidikan,
feelnya tetap sama, karena selalu dihargai. Jadi jangan bawa istilah, “saya lebih tua, lebih berpengalaman, lebih bertitel, maka dengarkan saya saja dan kalian harus menurut!”
gedubrak……
Satu hal yang sangat menarik dan menjadi perbedaan yang kontras antara hidup di luar negeri dan di kampung halaman, yaitu teknologi yang canggih dan minim tenaga manusia. Semua serba mesin, karena biaya tenaga kerja yang tinggi, jadi mau urusan kecil dan besar semuanya mengandalkan teknologi. Jangan minder ya, secara Kota Palu kan baru berumur 3 dekade, jauh lebih muda dengan kota-kota di Amerika dan Eropa yang sudah berusia ratusan bahkan ribuan tahun. Untuk mengobati keminderan kita, internet masih bisa dijadikan obat meskipun dengan dosis kecil saja. Sekedar untuk cuci mata virtual, ulik-ulik
happening di luar sana.
Persoalan makan adalah prioritas nomor sekian
Di negeri orang, persoalan makan adalah prioritas nomor sekian, karena dikejar waktu, apa pun makanan yang tersedia harus dilahap, entah apakah ada
dabu-dabunya atau tidak, urusan makan bukan jadi perdebatan. Bersyukurlah kita yang masih menerapkan budaya origin, “
makan ga makan, asal ngumpul”, artinya karena belum sebegitunya kita mengajar-dikejar-kejar-kejaran dengan waktu, maka nikmatilah hidangan khas kita yang selalu tersedia di warung, rumah, atau di meja makan rumah teman karena kepekaan kita terhadap seruan “mari makan!”.
Cerita tentang Kota Palu
Boleh orang asing mengatakan kita
kampungan, dan boleh juga kita katakan kepada mereka bahwa mereka
kotaan. Percakapan favorit di Barat adalah tentang cuaca dan keindahan alam, nah di sinilah giliran kita
bagaya sakide. Bagi orang Eropa alam di negeri kita sangat eksotis, cantik,
pristine, dan langka bagi mereka karena di sana kebanyakan alam sintetis, seperti danau buatan, dan taman buatan.
Bagi Tami, hal yang perlu dibangun di lingkungan Kota Palu adalah persoalan mental. Ya, harus segera rekayasa kegiatan-kegiatan dan budaya membentuk mental untuk maju, percaya diri dan kerja keras. Kalau dipercaya sebagai pelajar maka belajarlah sungguh-sungguh, jika dipercaya sebagai guru dan dosen maka sudah sewajarnya mengajar dengan hati, jika sebagai karyawan maka lakukan kewajiban dengan benar. Jika menjadi pengusaha maka berbisnislah dengan pola kerja yang terbuka, apalagi jika bekerja sebagai aparatur pemerintahan baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, ya harus bekerja sesuai amanat rakyat yang tertuang dalam perundang-undangan.
Dan satu hal yang mungkin paling sulit buat kita, yaitu belajar untuk konsisten. Konsisten dari hal yang kecil, taat pada aturan yang berlaku seperti budaya tertib mejaga kebersihan, parkir kendaraan di area yang sudah disediakan, dan lainnya. Mudah sepertinya tapi apa kita bisa melakukannya dengan konsisten seperti apa yang kita sampaikan ke orang lain?
Singkat cerita, satu ungkapan Tami bagi Kota Palu adalah KALEDO. Filsofi Kaledo sangat berarti baginya, Kaledo adalah suatu hidangan yang memiliki rasa asam, pedas, dan bersuhu panas; tapi tetap saja Kaledo selalu membuat orang-orang kembali untuk mencicipinya. Itulah Kota Palu, ia memiliki aneka nilai, apa pun kata orang, Kota Palu memiliki suatu daya magnet besar untuk menarik kembali semua orang yang pernah datang dan singgah.
Palu Ngataku… (Rachmad Ibrahim)
Komentar: Aku suka sekali cara Iim (panggilan Rachmad Ibrahim) menulis ini. Iim adalah sahabatku ketika SMA dan kami sempat se-tim waktu Kongres Anak Indonesia di Jakarta, 2001. Im salah satu sahabat luar biasa yang pernah ku kenal. Bagaimana tidak, kiprahnya bercas cis cus bhs inggris gak diragukan lagi (juara 3 pidato dlm Bing se-Sulawesi Selatan), kemampuan retorika dan berorganisasipun yang luar biasa. Ingat betul bagaimana ketika Im merombak penuh mekanisme penjaringan pengurus OSIS SMA di masa kami 'berjaya' _hahhahah..katakanlah begitu_
Sampai ketemu lagi Im, dikesempatan yang lebih yahuud tentunya, Insya Allah. Selamat lebih dulu membangun Palu kawan!